Pascaregulasi UU no 14 tahun 2005 sekarang minat dan motivasi pelajar, tenaga honorer dan PNS (ASN) untuk melanjutkan pendidikan sangat tinggi. Alasannya cukup sederhana, demi untuk memperoleh tiket sertifikasi / remunisasi / rapelan / istilah lainnya. pesanan akan gelar sarjana pun laku laris manis. Persaingan bisnis pendidikan tinggi kian sengit. Tak mengherankan bila lembaga pendidikan tinggi juga aktif menjemput bola, turun lembah naik gunung guna menjaring mahasiswa. Dikota-kecamatan bermunculan kampus sewa gedung.
Kegiatan kuliah ala persami (perkuliahan sabtu minggu) pun berlangsung lancar dan singkat. Biro jasa pembuatan karya tulis/skripsi kian tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Sejatinya rakyat harus tahu, tidak untuk sekolah kita belajar melainkan untuk hidup.
Masyarakat konsumen pendidikan pun akhirnya berpikir dan bertanya kritis. Bagaimana mungkin dalam kurun waktu yang singkat sebuah perguruan tinggi dapat mencetak ratusan sarjana dalam waktu bersamaan. Maka tak mengherankan bila kemudian dikalangan masyarakat kritis melecehkan eksistensinya dengan sebutan/titel sarjana paket D.
Belakangan tak mau kalah strategi, lulusan sma/smk yang gagal dalam berebut bangku kuliah maupun lapangan kerja juga beramai-ramai melamar menjadi PTT (Pegawai Tidak Tetap) atau tenaga honorer sebagai pilihan akhir. Sebuah petualangan akhir daripada menganggur. satu jalan pintas dengan tujuan multganda, satu sisi mendapat kerjaan disisi lain mendapat rekomendasi kemudahan kuliah serta mendapatkan subsidi/keringanan biaya kuliah.
Demikian sederhanakah persoalan mencetak tenaga profesional dinegeri tercinta ini. Cukup beralasan kiranya sinyalemen pemerintah bila saat ini Indonesia kelebihan tenaga honorer terutama guru. Selain persoalan di atas, penyebaran PNS juga tidak merata. ini buknnya memperluas lapangan kerja tapi malah justru mempersempit lapangan kerja. Bila sudah seperti ini siapakah yang harus disalahkan ?